USAHA PAGUYUBAN SRANDUL SUKET TEKI MENJAGA TRADISI DI ERA MODERN

23 September 2025
KALURAHAN TAMANMARTANI
Dibaca 4 Kali
USAHA PAGUYUBAN SRANDUL SUKET TEKI MENJAGA TRADISI DI ERA MODERN

Karangmojo – Dalam rangka memperingati HUT RI ke-80, Paguyuban Srandul Suket Teki mementaskan sebuah naskah berjudul “Dadung Awuk Tapa Bisu”. Pementasan yang digelar di sebuah panggung kampung sederhana itu disutradarai oleh Kusuma Prabawa, yang sekaligus menjadi penulis naskah. Malam itu, tikar-tikar digelar di depan panggung khas acara Agustusan. Siapa sangka, panggung kampung dengan tikar dan lampu seadanya justru lebih fasih bicara soal bangsa ketimbang gedung-gedung megah di kota.

Srandul sendiri merupakan kesenian rakyat yang lahir dan berkembang di sekitaran Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ia memadukan drama, tarian, dan musik, dengan kisah-kisah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti pertanian, kemakmuran, atau cerita rakyat sederhana. Srandul dikenal sederhana, bahkan lebih sederhana dari pertunjukan ketoprak: cukup diiringi angklung, terbang, dan kendang. Pada masa awal, bahkan pertunjukannya hanya diterangi cahaya obor.

Namun kesederhanaannya justru menjadi kekuatan. Dengan gaya lugas, satir, dan penuh humor, srandul mampu berbicara tentang kehidupan rakyat kecil, bahkan menyentil hal-hal yang tak berani diucapkan secara gamblang di masyarakat. Malam itu, Paguyuban Srandul Suket Teki membawakan naskah “Dadung Awuk Tapa Bisu” hadir dengan kisah seorang pejabat (Dadung Awuk) yang mendadak bungkam berhari-hari, tanpa diketahui sebabnya. Warga yang menunggu kepastian semakin bingung, tapi sang Dadung Awuk tetap diam. Sebuah alegori yang segar dan tajam, menggambarkan bagaimana para pemimpin bisa bungkam di tengah kebingungan rakyat. Serta di dalamnya turut dibahas maraknya fenomena ormas yang menjamur. Dibalut dengan humor agar lebih ringan diterima masyarakat.

 

Cerita ini mengingatkan pada naskah-naskah teater modern, seperti karya Puthut Buchori, yang kerap menghadirkan humor satir untuk membicarakan kenyataan sosial. Dari sini, Paguyuban Srandul Suket Teki menunjukkan bahwa srandul tidak hanya terpaku pada cerita kuno. Ia bisa menyesuaikan zaman, bahkan membicarakan isu-isu terbaru yang sedang ramai diperbincangkan.

Lebih dari sekadar hiburan, pementasan ini adalah pernyataan. Srandul Suket Teki adalah salah satu dari sedikit kelompok srandul yang masih bertahan di Yogyakarta, ketika banyak paguyuban lain sudah lama ‘kukut’. Di tengah gempuran dangdut koplo, organ tunggal, dan tontonan digital, srandul perlahan ditinggalkan. Namun, bagi para pelaku seniman di Karangmojo, srandul bukan sekedar kesenian lawas, melainkan warisan yang harus terus hidup. Perjalanan menjaga srandul tentu tidak mudah. Sebagian besar pegiat Srandul Suket Teki kini sudah berumur, sementara generasi muda lebih akrab dengan gawai, musik koplo, dan tontonan digital. Dalam pementasan terakhirnya, Paguyuban Srandul Suket Teki bekerjasama dengan UKM Teater UNY (UNSTRAT), sebagai upaya menularkan semangat srandul kepada generasi muda agar tradisi ini tak hanya jadi cerita masa lalu.

Malam itu, Kusuma Prabawa membuka pagelaran. Memperkenalkan apa itu Srandul dan apa itu Paguyuban Srandul Suket Teki yang ternyata namanya memiliki makna filosofis yang sangat kuat. Suket teki atau rumput teki adalah tanaman yang meski daunnya sudah hancur selagi (kenthos) bijinya masih ada ia akan tetap tumbuh dan bersikeras tak mati. Itulah kira-kira keadaan atau usaha Paguyuban Srandul Suket Teki saat ini. Setelah memberikan perkenalan singkat, Kusuma Prabawa menutup dengan menghimbau kepada segenap masyarakat untuk tetap tinggal sampai pagelaran selesai. Sebab di akhir acara akan ada pertanyaan berhadiah atau doorprize. Ini adalah cara yang sangat taktis untuk menjaga penonton tidak meninggalkan tikar. Bahkan hadiahnya tidak tanggung-tanggung, mungkin nilainya bisa melebihi satu cabang lomba tujuhbelasan.

Namun, daya tahan penonton masa kini tidak selalu sejalan dengan panjangnya sebuah pementasan. Satu per satu orang mulai bangkit meninggalkan tikar. Mungkin karena lelah, atau mungkin merasa cukup menonton sebagian. Meski begitu, sejumlah penonton tetap bertahan. Sebagian memilih mempertahankan posisi di tikar, sebagian mencari sandaran di tembok atau tiang. Ajaibnya adalah tidak hanya para orang-orang sepuh yang bertahan dan menikmati. Ada juga beberapa anak muda yang jika dilihat air mukanya sangat antusias menyimak jalannya cerita. Namun hal ini tidak bisa menjadi tolak ukur begitu saja karena Kusma Prabawa di awal mengatakan bahwa akan ada doorprize. Jadi tidak bisa dipastikan apakah mereka bertahan karena hadiah atau karena srandul itu sendiri. Pada saat adegan lucu ada beberapa yang tertawa ada juga yang tidak, hal ini dapat menjadi bukti kalimat sebelum ini.

Malam semakin larut, dan meski jumlah penonton tak sebanyak orkes dangdut, suasana tetap hangat. Gelak tawa, tepuk tangan, dan obrolan kecil di antara penonton menjadi bukti bahwa srandul masih punya ruang di hati masyarakat. Di akhir acara, para pemain menunduk memberi hormat, menerima tepuk tangan yang tulus dari orang-orang yang tetap bertahan.

 

Penulis Inggar Dwi Panjalu, Regi Melia Putrisula